Senin, 07 Februari 2011

Riwayat Haji Hamid Abulung



Sebenarnya cerita tentang haji hamid abulung ada hubungannya dengan haji Muhammad arsyad kalmpayan. Menurut cerita pertistiwa itu terjadi ketika sultan adam menyekolahkan keduanya ke Mekkah.
Sultan adam mengirimkan haji Muhammad arsyad kalampayan ke mekkah untuk mencari ilmu pengetahuan. Di antaranya ada pula yang bernama haji Abdul Hamid termasuk dalam lingkungan keluarga sultan, yaitu sebagai anak angkat. Ketika masih kecil ia dipungut sebagai anak oleh sultan Adam dan dipelihara hingga dewasa.

Kedua orang ini termasuk luar biasa. Haji Muhammad Arsyad kalampayan, sewaktu masih kecil keistimewaannya sudah nampa. Ketiak ia sedang tidur, tubuhnya tampak terangkat dari lantai. Jadi masih kanak-kanak sudah keliatan adanya kelebihan. Rupanya dalam wilayaha kampong tersebut ada yang mencertakan kejadian tersebut kepada sultan Adam, bahwa seorang anak apabila ia tidur tubuhnya mengambang. Ada yang mengatakan setelempap ada pula yang mengatakan sejengkal jaraknya dari lantai. Keduanya itu benar, tergantung kepada penglihatan masing-masing. Dengan adanya keistimewaan itu, raja berpendapat bahwa anak tersebut mempunyai bakat yang luar biasa dan mungkin akan menjadi orang besar kelak di kemudian hari.
Ada yang mengatakan keduanya dikirim bersama-sama dan ada pula yang menatakan Abdul Hamid agak kemudian. Tetapi kalau Haji Arsyad adalah menunut ilmu syariat, maka Abdul Hamid memperdalam ilmu ketuhanan atau katahuhiddan. Keduanya belajar di sana sampai berhasil.
Setelah berhasil menguasai ilmu yang dituntut, mereka pun pulang kembali ke negeri ini. Beberapa waktu setelah Abdul Hamid pulang dan mulai mengembangkan ilmunya, terlihatlah oleh sultan Adam beberapa kejanggalan. Apa yang dikemuakakan oleh Haji Muhammad Arsyad dalam beberapa hal bertenatangan dengan ilmu yang diajarkan Abdul Hamid. Kelainan itu adalah karena apa yang dikemukakan Haji Muhammad Arsyad persolan hukum syariat di mana secara mendalam dibicarakan masalah fiqh, sedangkan Haji Hamid persoalan adalah persoalan ke dalam, persoalan bidang tauhid atau masalah ketuhanan. Tetapi cara yang ditempuh Abdul Hamid berbeda dari biasa. Arti kelainan itu ialah seolah-olah ada pemisahan antara hukum fiqh dan hukum tauhid, hampir-hampir dan penafsiran tidak ada lagi manusia, yang ada hanyalah Tuhan mululu.
Adanya hal-hal demikian menyebabkan pernah timbul ketegangan antara Abdul Hamid dengan Haji Muhammad Arsyad dalam mengemukakan pendapat. Haji Muhammad Arsyad berpendapat kalau keadaan ini berlarut-larut akan membawa akibat terhadap pendirian umat manusia yang berkedudukan orang awam. Kalau semua persoalan semata-mata masalah ketuhanan. Lalu bagaimana dengan hukum syariat. Jalan ke luar harus segera dicari.
Haji Muhammad Arsyad kalampayan yang berkedudukan sebagai penasehat kerajaan dalam masalah hukum melakukan perundingan dengan Sultan. Dalam perundingan itu diputuskan bahwa karena Abdul Hamid sudah termasuk ahlu jannah maka perlu disempurnakan dengan jalan menyingkirkannya. Dengan demikian akan terhindar salah pengertian dalam hukum syariat.
Sebenernya cara yang akan ditempuh oleh Sultan Adam sudah diketahui oleh Abdul Hamid, karena Abdul Hamid, Haji Muhammad Arsyad dan Sultan Adam termasuk wali Allah Taala. Jadi ketiganya mempunyai jurusan yang sama. Tetapi karena kerajaan perlu mengunggulkan hukum agar persoalan bathin jangan sampai membebaskan persoalan hukum dalam arti hukum kerajaan dihilangkan, perlu dihilangkan, perlu diambil tindakan demikian. Dalam cara menyingkirkan itu beliau ingin menampakkan segi kebenara dengan cara beliau sendiri.
Kerajaan kemudian memutuskan suatu jalan sesuai dengan perundingan antara Sultan Adam dengan Haji Muhammad Arsyad. Haji Muhammad Arsyad diperintahkan untuk memanggil Abdul Hamid.
“panggil Abdul Hamid ke istana,” titah raja.
Tugas yang dibebankan segera dijalankan oleh Arsykar tersebut spontan ketika utusan itu tiba dihadapan Abdul Hamid beliau berkata, “katakana kepada raja yang memerintahmu ke mari sampaikan padanya bahwa Abdul Hamid tidak ada, yang ada hanya Allah Taala.”
Utusan yang datang menjadi bingung. Bagaimana ini, Abdul Hamid dikatakan tidak ada, yang ada hanya Allah Taala, padahal orangnya ada dan berbicara dengannya.
Dalam perjalanan kembali ke istana, utusan raja tak habis pikir apa maksud perkataan Abdul Hamid demikian. Dia sendiri yang menjawab, tetapi mengatakan Abdul Hamid tidak ada yang ada hanya Allah Taala. Inilah yang membuatnya bingung, karena asykar itu tidak tahu apa-apa dan tidak tahu ke mana arah tujuan perkataan itu. Setelah tiba di istana, Asykar segera memberikan laporan.
“kata Abdul Hamid wahai paduka raja, sampaikan pesannya kepada paduka. Beritanya beginai, “Abdul Hamid katakan tidak ada, yang ada hanya Allah Taala saja,’ pesan paduka sudah saya sampaikan dan itulah jawabannya, itulah yang dapat saya sampaikan kepada paduka.
“wah”, kata raja. “kalau begini sungguh keterlaluan.” Apa yang disampaikan oleh Asykar didengar pula oleh Haju Muhammad Arsyad kalampayan. Kemudian mereka berunding. Dipergunakan berbeda dari tadi. Kalau yang pertama dikatakan panggilakan Abdul Hamid, suruh datang yang ke istana maka sekarang bersembunyi, panggilka Allah Taala.
“Allah Taala, paduka dipanggil oleh sultan,” kata utusan raja. Maka dijawab oleh beliau, ”katakan, Allah Taala tidak ada yang ada hanya Abdul Hamid saja.”
Bagaimana pula ini, pikir utusan raja. Kemudian apa yang dialaminya disampaikan kepada sultan.
“paduka beginilah jawabnya.”
“bagaimana katanya,” ujar sultan.
“katakan kepad sultan, Allah tidak ada yang ada hanyalah Abdul Hamid.”
“wah” kata raja, “bagaimana pula ini.”
Tiba-tiba timbul suatu pemikiran beliau berdua, yaitu Sultan dan Haji Muhammad Arsyad kalampayan.
“kalau begitu panggil saja keduanya.”
“bagaimana bunyi panggilan itu?”
“katakan begini, Abdul Hamid dipanggil oleh Sultan beserta Allah Taala.”
Begitulah caranya untuk mengatasi kedua jawaban Abdul Hamid terdahulu, yaitu dengan menggabungkan keduanya.
Bagaimana hasilnya. Maka Abdul Hamid pun datang. Rupanya cara memanggil yang ketiga inilah yang sesuai, sehingga Abdul Hamid datang ke istana. Inilah suatu siasat kerajaan untuk menyempurnakan riwayat Abdul Hamid supaya jangan tersebar ilmu yang serupa itu yaitu melulu persoalan Tuhan tidak ada yang lain. Padahal ajarannya tidaklah demikian, kalau ditinjau dari susunan ilmu yang dibawa Abdul Hamid. Bagaimana hal yang sebenarnya, baiklah saya tambahkan dalam cerita ini.
Sebenarnya yang dimaksud oleh Abdul Hamid bukanlah melulu persoalan Tuhan. Pada kesempatan pertama kali utusan raja tiba, saat itu Abdul Hamid kedudukannya dalam masa tafakkur. Dalam rasa tafakkur ini segala arah keduniaan sama sekali menjadi lupa. Dalam masa lupa itulah utusan datang. Yaitu tatkala kedudukan Abdul Hamid sebagai dimaksud kalimat, Tafakkur sa’atan ka ibadati sab’ina sanah. Tafakkur sesaat itu sama derajatnya dengan ibadah beberapa tahun. Pekerjaan memang lain antara ibadah dengan tafakkur, tetapi nilainya sama. Jadi pada waktu itu Abdul Hamid ini di dalam masa hilang kesadaran, lupa siapa yang datang dan apa tujuannya. Cuma pada waktu itu spontan jawaban yang diberikan oleh Abdul Hamid, karena yang terikat hanyalah Allah dan jawabannya mempunyai arah demikian. Ini terjadi pada tahap yang pertama.
Pada saat kedatangan utusan yang kedua, beliau telah kembali sadar. Jadi antara lupa dengan sadar ada perkaitannya. Dengan dasar itulah lalu keduanya dihubungkan dalam kalimat ini: Abdul Hamid dipanggil beserta Allah Taala. Dalam istilah ilmu ada masa fana dan masa baqa. Baqa bebarti dalam kesadaran tapi tidak terlepas dasar. Istilah yang dasar itu membawa sampai lupa, lengah dalam suatu masalah hukum. Antara kedua kedudukan inilah yang dibawa oleh Sultan Adam. Abdul Hamid dipanggil beserta Allah Taala, sama dengan Bismillahirahmanirrahim, dengan nama Allah.
Rupanya perlu menjalankan suatu siasat untuk mengunggulkan hukum, lalu seseorang yang sebelah kakinya telah melangkah ke dalam perlu sama sekali disempurnakan. Dalam perjalanan hidup persoalan yang demikian itu tidak ada habisnya semasa dunia terkembang.
Meurut riwayat Sultan Adam sudah merencanakan kalau Abdul Hamid benar-benar sesuai dengan perjalanan ilmu yang dituntutnya maka alat ini tidak memberi bekas, dengan dasar sudah dicantumkan dalam kitab La ta’ siru li syai-in minal kainat. Seluruh kainat yang ada didalam dunia ini tidak memberi bekas bagi orang yang sudah sampai derajat tingkatan ilmunya.
Di tengah jalan menuju istana telah disediakan sebuah perangkap. Ada sebagian yang mengatakan berupa perangkap, ada pula setengahnya mengatakan tombak yang disiapkan. Apabila Abdul Hamid berpijak perangkap itu, maka tombak tombak pasti jatuh menikam ke bawah tepat mengenai kepala Abdul Hamid. Tetapi dengan berjalan di atas ilmu yang beliau bawa, keadaannya telah memberi bukti.
Pada waktu beliau masuk, perangkap itu memang terpijak dan tombak jatuh, tetapi bertahan ditengah jalan. Jadi soal jatuhnya tombak tetap terjadi tetapi berhenti di tengah udara. Raja pun melihat kejadian itu. Cocok dan benar. Di saat jatuhnya tombak itu beliau tetap melangkah sebagaimana biasa, menoleh pun tidak. Jadi sama sekali beliau tidak memperhatikan apa yang tengah terjadi, dan lewat sesuai dengan irama perjalanan beliau. Kalau beliau menoleh kea rah datangnya tombak umpamanya, berarti beliau tahu dan menyadari apa yang tengah terjadi. Tetapi sebenarnya apa yang terjadi sama sekali beliau tidak tahu.
Sampailah beliau ke istana. Raja berpendapat Abdul Hamid memang berada dalam kebanaran. Tetapi Raja tidak habis cara untuk membuktikan selanjutnya. Sultan memutuskan, kalau begitu tangkap saja Abdul Hamid. Penasehat mencari jalan bagaimana cara mengkapnya. Kemudian dibuatlah kurungan besi, dan nanti Abdul Hamid dimasukkan ke dalamya dan dibenamkan dalam air. Itulah niat yang dikandung pihak kerajaan. Apakah ini berarti mempunyai maksud untuk membunuh, bukan demikian. Niat ini semata-mata ingin mengetahui apakah benar dalam perjalanan ilmunya. Sebab tidak mungkin kalau untuk mencari kebenaran ilmu itu, maka niat itu dilaksanakan.
Sesaat kemudian selesailah dibut kurungan besi. Abdul Hamid dimasukkan ke dalamnya. Kurungan besi kemuadian dibawa, dan sesampainya di luk buntar lalu dilemparkan kedalam air. Yang namanya besi dengan segala sifatnya tentu saja tenggelam. Tak ada besi yang timbul, kecuali kalau bergeronggang seperti kapal. Tetapi apa yang terjadi kemudian. Utusan yang bertugas membenamkan kurungan itu telah pulang dan melaporkan kepada Sultan apa yang telah diperintahkan telah selesai dikerjakan.
Tercerita selanjutnya apa yang terjadi dengan diri Abdul Hamid yang berada di dalam air. Kurungan itu tidak mungkin bisa diangkat seorang diri karena beratnya berton-ton. Sebenarnya beliau orang yang termasuk menerima maunah (kelebihan) dari Allah sesuai dengan tingkatan ilmu yang terhujan di dadanya. Ilmu itu dikatakan orang sekarang ilmu tauhid yaitu ilmu yang mempersoalkan secara mendalam tentang ketuhanan. Ada juga yang mengatakan ilmu tasauf. Keduanya sama saja, baik orang yang bertasauf maupun orang yang bertauhid. Dia benar-benar mempunyai pegangan yang bulat terarah, dan tiap-tiap orang yang mempunyai pegangan itu tidak mungkin tidak berjiwa suci. Jadi dalam kehidupan beliau yang suci dan keunggulan dalam tauhid yang beliau pegangdalam cara rasa bertuhan, maka terjadilah sesuatu yang laur biasa. Pada waktu itu beliau berada di dalam air dengan pemberat besi, di waktu subuh tampak kelihatan maunahnya dasar ilmu beliau yang diberikan oleh Allah. Di waktu subuh timbullah kurungan besi kepermukaan air.
Jadi sesudah besi tibul, bagaimana dengan keadaan beliau di dalam kurungan tadi. Kelihatan ke luar, tubuh beliau keluar dari kurungan besi. Besi itu sebenarnya dibuat pas seukuran badan tidak bisa duduk di dalamnya apalagi berbaring, hanya cukup berdiri saja. Bagaimana kedudukannya di dalam air, entahlah. Mungkin berdiri atau terbalik boleh jadi juga. Tapi yang nyata sesudah subuh menjelang waktu sembahyang subuh besi itu timbul ke permukaan air dan beliau duduk di atasnya. Apa yang beliau kerjakan. Tidak lain semata-mata bertaabbud, beribadah kepada Allah. Artinya mengerjakan kewajiban sebagaimana biasa sesuai dengan yang diperintahkan. Jadi persangkaan sebagian besar orang tidak sesuai dengan kenyataan. Orang-orang mengira ajarannya melulu persoalan dalam atau persoalan Tuhan., padahal tidak. Berliau tetap mengerjakan amaliah sebagaimana biasa. Penafsiran yang mula-mula jauh berbeda dengan kenyataannya. Abdul Hamid bukan jadi Tuhan dan tidak menyatakan dirinya Tuhan. Cuma saking penuhnya kecintaan beliau terhadap Tuhan sampai terlupa kepada yang lain. Hanya rasa cintanya inilah yang ke luar, tercetuslah kalimat Allah. Tidak ada yang lain, yang ada hanya Allah semata. Ini karena saking meluapnya kecintaan beliau.
Setiap subuh, itulah yang dikerjakan beliau yaitu sembahyang. Bila lewat masa subuh dan semua kewajiban sudah dikerjakan, kurungan besi itu kembali tenggelam. Tetapi apakah beliau itu mati lemas di dalam air, tidak. Setengah riwat mengatakan air tersisih satu hasta dari kurungan. Jadi sekeliling empat persegi dari kurungan itu, air menyibak sehingga sama sekali tidak tersentuh air. Jadi istilah mati lemas tidak pula ada pada beliau. Nah, itulah maunah dari isi ilmu yang sudah beliau pegang tauhid dan bersihnya pegangan kejiwaan beliau.
Jadi setiap subuh begitulah yang terjadi. Selesai menjalankan kewajiban, kemabali tenggelam. Nanti apabila tiba waktu zuhur timbul lagi ke permukaan air da teggelam setelah waktunya habis. Waktu Ashar timbul kembali dan demikian seterusnya.
Hari ke sehari demikianlah berjalan. Rupanya ada dalam kawasan tersebut ada orang yang pekerjaannya mahaliung . Tetapi pekerjaan itu berkawan-kawan, setiap kelompok terdiri dari tiga-empat orang di sebelah kiri, dan sejumlah itu pula di sebelah kanan. Ketika rombongan itu lewat di daedah tempat kurungan Abdul Hamid diteggelamkan, kebetulan dengan saat timbulnya kurungan besi itu. Sayup-sayup terdengar di kejauhan seperti suara azan. Apakah mereka iu juha sembahyang , tak tahulah kita. Mereka berjumlah sepuluh orang lima sebelah kanan dan lima sebelah kiri, masing-masing naik jukung. Mendengar suara azan lamat-lamat di kejauhan, masing-masing memperkirakan apakah itu suara manusia atau suara apa. Setiap orang diantara mereka saling bertanya. Kata seoarang, “cobalah kita mendekati supaya tahu buktinya. Kalau kita dari jauh begini tidak bisa menentukan suara apa iitu, apakah suara itu manusia ataukah suara makhluk lain. Untuk lebih terang, ada baiknya kita mendekat. Kalau dia manusia bagaimana orangnya. Kalau dia bukan manusia bagaimana pula.”
Pendeknya kesepuluh orang itu perlahan-lahan mendekat dan pekerjaaan menjala ditinggalkan. Karena saking ingin tahunya, jala di tangan terlepas tanpa sadar. O, nyata didengar suara tadi adalah suara manusia. Diintip dari kejauhan kiranya orang itu sedang melaksanakan sembahyang. Di antara meeka ada yang berkara.
“dia itu sembahyang, kita ini bagaimana. Kamu Islam Atau bukan?”
“Islam”
“dan kamu?”
Juga Islam.”
“bagaimana ini. Kita menyatakan diri kita Islam, tetapi pekerjaan kita begini. Malu kita jadinya.”
Kata yang lain, “cobalah kita lebih mendekat, perhatikan diri kita islam, tetapi pekerjaan kita begini. Malu kita jadinya.”
Kata yang lain,”cobalah kita lebih mendekat, perhatikan bagaimana dia mengerjakan. Kalau perlu kita temui dan belajar dengannya, jangan seperti ini. Kalau begini-begini saja apa jadinya, hanya mengaku saja islam.”
Timbul hasrat semuanya untuk mendekat. Ringkasnya, lalu kesepuluh orang itu berhasrat mengangkat Abdul Hamid sebagi guru.
“wahai tuan guru, kami ingin berguru kepada tuan. Anggaplah kami sebagai murid tuan, dan kami mengangkat tuan sebagai guru kami. Apa yang ada pada tuan harap kami diberi pelajaran.” Kata beliau, “apakah kalian benar-benar ingin belajar. Kalau tidak sungguh-sungguh ingin belajar, saya tidak mau.”
“kami memang ingin benar-benar belajar.”
“kalau begitu baiklah.”
Sejak saat itu mereka mulai berguru, tentang ilmu tasauf. Padahal yang dipelajari itu adalah persoalan tauhid, mempertebal dan memperdalam keimanan dalam diri. Apakah yang diajari semata-mata ilmu tauhid. Tidak. Ilmu tauhid berdampingan dengan hukum syara sebagai yang nampak dalam pekerjaan beliau sendiri. Tetapi karena masa dahulu dalam lingkungan kerajaan dipertinggikan keberanian lalu masing-masing mengambil cara kekuasaan.
Orang yang sepuluh ini lalu belajar dengan tekun. Di samping membersihkan kejiwaan juga menyempurnakan hukum syara. Jadi masing-masing menuntut ilmu sesuai cara sendiri-sendiri, sampai mencapai ilmu apa yang dinamakan ilmu tasauf.
Secara teratur setiap subuh mereka belajar, dan akhirnya tamatlah pelajaran yang dituntut. Apa yang terjadi setelah itu terhadap diri Abdul Hamid, sampai di sini dulu persoalannya.
Kembali tercerita persoalan orang yang mengaji, menuntut ilmu-ilmu pengetahuan. Orang-orang yang menuntut ilmu tersebut banyaknya sepuluh orang, lalu dinamai orang sepuluh. Sampai sekarang keturunan mereka dinamakan zuriat anak cucu orang sepuluh, yang namanya di daerah Amuntai.
Turunannya banyak terdapat di sana, yang termasuk orang-orang kaburiat, boleh dikatakan jaya dan gagah berani. Padahal dalam masalah orang sepuluh, mereka bukan mengkaji ilmu kejayaan. Ilmu yang dituntut ilmu murni. Tapi karena berkat ketabahan hati dalam lingkungannya timbullah perasaan ini dengan sendirinya.
Menurut cerita, orang sepuluh ini bekerja dalam lingkungan kerajaan. Oleh karena mereka jaya dan kebal dalam lingkungan sebagai panglima kerajaan. Sampai-sampai ada yang memperkirakah bahwa ilmu yang mereka kaji tempo hari adalah ilmu kekebalan. Padahal tidak. Yang mereka tuntut sebenarnya ilmu untuk memperdalam rasa bertuhan. Tapi karena diantaranya salah menafsirkan, lalu dikatakan mengakaji ilmu kekebalan. Itulah sejarah anak cucu Orang Sepuluh yang sampai sekarang keturunannya ini termasuk orang-orang yang pemberani. Tetapi apakah keberanian itu sesuai dengan keturunan asal, wallahu a’lam. Itu menurut cerita.
Menurut kisah selanjutnya, terhadap Abdul Hamid akhirnya terlaksana juga apa yang diniatkan oleh Sultan. Telah sampai berita ke istana bahwa Abdul Hamid yang dibenamkan ke dalam sungai dahulu tidak binasa, tetap saja hidup.
“kalau begitu segera di tangkap kembali, bawa ke istana.”
Abdul Hamid kemudian dibawa ke kerajaan, setibanya di hadapan Sultan Adam, Abdul Hamid berkata.
“wahai Sultan, paduka tidak akan dapat menggunakan senjata apa pun di dunia ini untuk membunuhku, untuk menghabisi riwayat Abdul Hamid tidak akan bisa terlaksana, tetapi kalau paduka menginginkannya juag dan kemudian saya sampai juga waktunya yang saya sudah diberitahukan Allah, ambil senjata saya sendiri. Saya ada mempunyai senjata, letaknya di dinding rumah. Menggunakannya jangan ke luar dari lingkaran yang saya buat ini.” Lalu Abdul Hamid membuat tanda di arah belikat.
“sesudah saya membubuhkan tanda, saya permisi akan melaksanakan sembahyang lebih dahulu.”
Jadi kalau orang mengaji sesuatu ilmu, bisakah melepaskan sembahyang. Tidak. Sembahyang secara biasa. Jadi sesuadah beliau sembahyang, dilangsungkan amanat beliau.
Setelah selesai sembahyang, lantas ditusuk dengan keris beliau sendiri. Apa yang kemudian terjadi. Pada saat itu keluarlah darah dalam daerah badan beliau yang telah diberi tanda. Darah yang ke luar tidak terpancar, tetapi mencucurkan seperti air ke luar dari pipa ledeng. Pancuran darah yang ke luar ini lain dari biasa, tetapi merupakan suatu lambang huruf yang berbunyi, “laa illaha illallah, muhammadar rasulullah.” Darah yang gugur ke bumu berbentuk suatu lafal kalimat syahadat.
Selesai rangkaian huruf dua kalimat syahadat itu, habislah darah beliau dan menghembuskan nafas yang terkhir. Itulah riwayat yang terjadi pada diri Abdul Hamid di masa kerajaan Sultan Adam.

Ditulis pada tanggal/ jam :
Friday, January 14, 2011
‏االجمعة‏، 09‏ صفر‏، 1432
17:24:28


2 komentar:

  1. Maaf mau komentar sedikit

    Syekh muhammad arsyad albanjari wafat 1812

    Sultam adam jadi raja tahun 1825 -1857

    Coba teliti syekh muhammad arsyad sudah wafat 13 tahun sebelum sultan adam jadi raja banjar

    Jadi cerita ente ini ngarang aja....

    BalasHapus
  2. Sedikit meluruskan, Syeikh Muhammad Arsyad dikirim belajar ke Makkah oleh Sultan Tahlilullah... pada saat beliau kembali setelah lbh 30 tahun belajar di Makkah, Kerajaan Banjar dibawah pimpinan Sultan Tamjidillah...

    BalasHapus