Sultan adam mengirimkan haji Muhammad arsyad
kalampayan ke mekkah untuk mencari ilmu pengetahuan. Di antaranya ada pula yang
bernama haji Abdul Hamid termasuk dalam lingkungan keluarga sultan, yaitu sebagai
anak angkat. Ketika masih kecil ia dipungut sebagai anak oleh sultan Adam dan
dipelihara hingga dewasa.
Kedua orang ini termasuk luar biasa. Haji
Muhammad Arsyad kalampayan, sewaktu masih kecil keistimewaannya sudah nampa.
Ketiak ia sedang tidur, tubuhnya tampak terangkat dari lantai. Jadi masih
kanak-kanak sudah keliatan adanya kelebihan. Rupanya dalam wilayaha kampong
tersebut ada yang mencertakan kejadian tersebut kepada sultan Adam, bahwa
seorang anak apabila ia tidur tubuhnya mengambang. Ada yang mengatakan
setelempap ada pula yang mengatakan sejengkal jaraknya dari lantai. Keduanya
itu benar, tergantung kepada penglihatan masing-masing. Dengan adanya
keistimewaan itu, raja berpendapat bahwa anak tersebut mempunyai bakat yang
luar biasa dan mungkin akan menjadi orang besar kelak di kemudian hari.
Ada yang mengatakan keduanya dikirim
bersama-sama dan ada pula yang menatakan Abdul Hamid agak kemudian. Tetapi
kalau Haji Arsyad adalah menunut ilmu syariat, maka Abdul Hamid memperdalam
ilmu ketuhanan atau katahuhiddan. Keduanya belajar di sana sampai berhasil.
Setelah berhasil menguasai ilmu yang
dituntut, mereka pun pulang kembali ke negeri ini. Beberapa waktu setelah Abdul
Hamid pulang dan mulai mengembangkan ilmunya, terlihatlah oleh sultan Adam
beberapa kejanggalan. Apa yang dikemuakakan oleh Haji Muhammad Arsyad dalam
beberapa hal bertenatangan dengan ilmu yang diajarkan Abdul Hamid. Kelainan itu
adalah karena apa yang dikemukakan Haji Muhammad Arsyad persolan hukum syariat
di mana secara mendalam dibicarakan masalah fiqh, sedangkan Haji Hamid
persoalan adalah persoalan ke dalam, persoalan bidang tauhid atau masalah
ketuhanan. Tetapi cara yang ditempuh Abdul Hamid berbeda dari biasa. Arti
kelainan itu ialah seolah-olah ada pemisahan antara hukum fiqh dan hukum
tauhid, hampir-hampir dan penafsiran tidak ada lagi manusia, yang ada hanyalah
Tuhan mululu.
Adanya hal-hal demikian menyebabkan pernah
timbul ketegangan antara Abdul Hamid dengan Haji Muhammad Arsyad dalam
mengemukakan pendapat. Haji Muhammad Arsyad berpendapat kalau keadaan ini
berlarut-larut akan membawa akibat terhadap pendirian umat manusia yang
berkedudukan orang awam. Kalau semua persoalan semata-mata masalah ketuhanan.
Lalu bagaimana dengan hukum syariat. Jalan ke luar harus segera dicari.
Haji Muhammad Arsyad kalampayan yang
berkedudukan sebagai penasehat kerajaan dalam masalah hukum melakukan
perundingan dengan Sultan. Dalam perundingan itu diputuskan bahwa karena Abdul
Hamid sudah termasuk ahlu jannah maka perlu disempurnakan dengan jalan
menyingkirkannya. Dengan demikian akan terhindar salah pengertian dalam hukum syariat.
Sebenernya cara yang akan ditempuh oleh
Sultan Adam sudah diketahui oleh Abdul Hamid, karena Abdul Hamid, Haji Muhammad
Arsyad dan Sultan Adam termasuk wali Allah Taala. Jadi ketiganya mempunyai
jurusan yang sama. Tetapi karena kerajaan perlu mengunggulkan hukum agar
persoalan bathin jangan sampai membebaskan persoalan hukum dalam arti hukum
kerajaan dihilangkan, perlu dihilangkan, perlu diambil tindakan demikian. Dalam
cara menyingkirkan itu beliau ingin menampakkan segi kebenara dengan cara beliau
sendiri.
Kerajaan kemudian memutuskan suatu jalan
sesuai dengan perundingan antara Sultan Adam dengan Haji Muhammad Arsyad. Haji
Muhammad Arsyad diperintahkan untuk memanggil Abdul Hamid.
“panggil Abdul Hamid ke istana,” titah raja.
Tugas yang dibebankan segera dijalankan oleh
Arsykar tersebut spontan ketika utusan itu tiba dihadapan Abdul Hamid beliau
berkata, “katakana kepada raja yang memerintahmu ke mari sampaikan padanya
bahwa Abdul Hamid tidak ada, yang ada hanya Allah Taala.”
Utusan yang datang menjadi bingung.
Bagaimana ini, Abdul Hamid dikatakan tidak ada, yang ada hanya Allah Taala,
padahal orangnya ada dan berbicara dengannya.
Dalam perjalanan kembali ke istana, utusan
raja tak habis pikir apa maksud perkataan Abdul Hamid demikian. Dia sendiri
yang menjawab, tetapi mengatakan Abdul Hamid tidak ada yang ada hanya Allah
Taala. Inilah yang membuatnya bingung, karena asykar itu tidak tahu apa-apa dan
tidak tahu ke mana arah tujuan perkataan itu. Setelah tiba di istana, Asykar segera
memberikan laporan.
“kata Abdul Hamid wahai paduka raja,
sampaikan pesannya kepada paduka. Beritanya beginai, “Abdul Hamid katakan tidak
ada, yang ada hanya Allah Taala saja,’ pesan paduka sudah saya sampaikan dan
itulah jawabannya, itulah yang dapat saya sampaikan kepada paduka.
“wah”, kata raja. “kalau begini sungguh
keterlaluan.” Apa yang disampaikan oleh Asykar didengar pula oleh Haju Muhammad
Arsyad kalampayan. Kemudian mereka berunding. Dipergunakan berbeda dari tadi.
Kalau yang pertama dikatakan panggilakan Abdul Hamid, suruh datang yang ke
istana maka sekarang bersembunyi, panggilka Allah Taala.
“Allah Taala, paduka dipanggil oleh sultan,”
kata utusan raja. Maka dijawab oleh beliau, ”katakan, Allah Taala tidak ada
yang ada hanya Abdul Hamid saja.”
Bagaimana pula ini, pikir utusan raja.
Kemudian apa yang dialaminya disampaikan kepada sultan.
“paduka beginilah jawabnya.”
“bagaimana katanya,” ujar sultan.
“katakan kepad sultan, Allah tidak ada yang
ada hanyalah Abdul Hamid.”
“wah” kata raja, “bagaimana pula ini.”
Tiba-tiba timbul suatu pemikiran beliau
berdua, yaitu Sultan dan Haji Muhammad Arsyad kalampayan.
“kalau begitu panggil saja keduanya.”
“bagaimana bunyi panggilan itu?”
“katakan begini, Abdul Hamid dipanggil oleh
Sultan beserta Allah Taala.”
Begitulah caranya untuk mengatasi kedua
jawaban Abdul Hamid terdahulu, yaitu dengan menggabungkan keduanya.
Bagaimana hasilnya. Maka Abdul Hamid pun
datang. Rupanya cara memanggil yang ketiga inilah yang sesuai, sehingga Abdul
Hamid datang ke istana. Inilah suatu siasat kerajaan untuk menyempurnakan
riwayat Abdul Hamid supaya jangan tersebar ilmu yang serupa itu yaitu melulu
persoalan Tuhan tidak ada yang lain. Padahal ajarannya tidaklah demikian, kalau
ditinjau dari susunan ilmu yang dibawa Abdul Hamid. Bagaimana hal yang
sebenarnya, baiklah saya tambahkan dalam cerita ini.
Sebenarnya yang dimaksud oleh Abdul Hamid
bukanlah melulu persoalan Tuhan. Pada kesempatan pertama kali utusan raja tiba,
saat itu Abdul Hamid kedudukannya dalam masa tafakkur. Dalam rasa tafakkur ini
segala arah keduniaan sama sekali menjadi lupa. Dalam masa lupa itulah utusan
datang. Yaitu tatkala kedudukan Abdul Hamid sebagai dimaksud kalimat, Tafakkur
sa’atan ka ibadati sab’ina sanah. Tafakkur sesaat itu sama derajatnya dengan
ibadah beberapa tahun. Pekerjaan memang lain antara ibadah dengan tafakkur,
tetapi nilainya sama. Jadi pada waktu itu Abdul Hamid ini di dalam masa hilang
kesadaran, lupa siapa yang datang dan apa tujuannya. Cuma pada waktu itu
spontan jawaban yang diberikan oleh Abdul Hamid, karena yang terikat hanyalah
Allah dan jawabannya mempunyai arah demikian. Ini terjadi pada tahap yang
pertama.
Pada saat kedatangan utusan yang kedua,
beliau telah kembali sadar. Jadi antara lupa dengan sadar ada perkaitannya.
Dengan dasar itulah lalu keduanya dihubungkan dalam kalimat ini: Abdul Hamid
dipanggil beserta Allah Taala. Dalam istilah ilmu ada masa fana dan masa baqa.
Baqa bebarti dalam kesadaran tapi tidak terlepas dasar. Istilah yang dasar itu
membawa sampai lupa, lengah dalam suatu masalah hukum. Antara kedua kedudukan
inilah yang dibawa oleh Sultan Adam. Abdul Hamid dipanggil beserta Allah Taala,
sama dengan Bismillahirahmanirrahim, dengan nama Allah.
Rupanya perlu menjalankan suatu siasat untuk
mengunggulkan hukum, lalu seseorang yang sebelah kakinya telah melangkah ke
dalam perlu sama sekali disempurnakan. Dalam perjalanan hidup persoalan yang
demikian itu tidak ada habisnya semasa dunia terkembang.
Meurut riwayat Sultan Adam sudah
merencanakan kalau Abdul Hamid benar-benar sesuai dengan perjalanan ilmu yang
dituntutnya maka alat ini tidak memberi bekas, dengan dasar sudah dicantumkan
dalam kitab La ta’ siru li syai-in minal kainat. Seluruh kainat yang ada
didalam dunia ini tidak memberi bekas bagi orang yang sudah sampai derajat
tingkatan ilmunya.
Di tengah jalan menuju istana telah
disediakan sebuah perangkap. Ada sebagian yang mengatakan berupa perangkap, ada
pula setengahnya mengatakan tombak yang disiapkan. Apabila Abdul Hamid berpijak
perangkap itu, maka tombak tombak pasti jatuh menikam ke bawah tepat mengenai
kepala Abdul Hamid. Tetapi dengan berjalan di atas ilmu yang beliau bawa,
keadaannya telah memberi bukti.
Pada waktu beliau masuk, perangkap itu
memang terpijak dan tombak jatuh, tetapi bertahan ditengah jalan. Jadi soal
jatuhnya tombak tetap terjadi tetapi berhenti di tengah udara. Raja pun melihat
kejadian itu. Cocok dan benar. Di saat jatuhnya tombak itu beliau tetap
melangkah sebagaimana biasa, menoleh pun tidak. Jadi sama sekali beliau tidak
memperhatikan apa yang tengah terjadi, dan lewat sesuai dengan irama perjalanan
beliau. Kalau beliau menoleh kea rah datangnya tombak umpamanya, berarti beliau
tahu dan menyadari apa yang tengah terjadi. Tetapi sebenarnya apa yang terjadi
sama sekali beliau tidak tahu.
Sampailah beliau ke istana. Raja berpendapat
Abdul Hamid memang berada dalam kebanaran. Tetapi Raja tidak habis cara untuk
membuktikan selanjutnya. Sultan memutuskan, kalau begitu tangkap saja Abdul
Hamid. Penasehat mencari jalan bagaimana cara mengkapnya. Kemudian dibuatlah
kurungan besi, dan nanti Abdul Hamid dimasukkan ke dalamya dan dibenamkan dalam
air. Itulah niat yang dikandung pihak kerajaan. Apakah ini berarti mempunyai
maksud untuk membunuh, bukan demikian. Niat ini semata-mata ingin mengetahui
apakah benar dalam perjalanan ilmunya. Sebab tidak mungkin kalau untuk mencari
kebenaran ilmu itu, maka niat itu dilaksanakan.
Sesaat kemudian selesailah dibut kurungan
besi. Abdul Hamid dimasukkan ke dalamnya. Kurungan besi kemuadian dibawa, dan
sesampainya di luk buntar lalu dilemparkan kedalam air. Yang namanya besi
dengan segala sifatnya tentu saja tenggelam. Tak ada besi yang timbul, kecuali
kalau bergeronggang seperti kapal. Tetapi apa yang terjadi kemudian. Utusan
yang bertugas membenamkan kurungan itu telah pulang dan melaporkan kepada
Sultan apa yang telah diperintahkan telah selesai dikerjakan.
Tercerita selanjutnya apa yang terjadi
dengan diri Abdul Hamid yang berada di dalam air. Kurungan itu tidak mungkin
bisa diangkat seorang diri karena beratnya berton-ton. Sebenarnya beliau orang
yang termasuk menerima maunah (kelebihan) dari Allah sesuai dengan tingkatan
ilmu yang terhujan di dadanya. Ilmu itu dikatakan orang sekarang ilmu tauhid
yaitu ilmu yang mempersoalkan secara mendalam tentang ketuhanan. Ada juga yang
mengatakan ilmu tasauf. Keduanya sama saja, baik orang yang bertasauf maupun
orang yang bertauhid. Dia benar-benar mempunyai pegangan yang bulat terarah,
dan tiap-tiap orang yang mempunyai pegangan itu tidak mungkin tidak berjiwa
suci. Jadi dalam kehidupan beliau yang suci dan keunggulan dalam tauhid yang
beliau pegangdalam cara rasa bertuhan, maka terjadilah sesuatu yang laur biasa.
Pada waktu itu beliau berada di dalam air dengan pemberat besi, di waktu subuh
tampak kelihatan maunahnya dasar ilmu beliau yang diberikan oleh Allah. Di
waktu subuh timbullah kurungan besi kepermukaan air.
Jadi sesudah besi tibul, bagaimana dengan
keadaan beliau di dalam kurungan tadi. Kelihatan ke luar, tubuh beliau keluar
dari kurungan besi. Besi itu sebenarnya dibuat pas seukuran badan tidak bisa
duduk di dalamnya apalagi berbaring, hanya cukup berdiri saja. Bagaimana
kedudukannya di dalam air, entahlah. Mungkin berdiri atau terbalik boleh jadi
juga. Tapi yang nyata sesudah subuh menjelang waktu sembahyang subuh besi itu
timbul ke permukaan air dan beliau duduk di atasnya. Apa yang beliau kerjakan.
Tidak lain semata-mata bertaabbud, beribadah kepada Allah. Artinya mengerjakan
kewajiban sebagaimana biasa sesuai dengan yang diperintahkan. Jadi persangkaan
sebagian besar orang tidak sesuai dengan kenyataan. Orang-orang mengira
ajarannya melulu persoalan dalam atau persoalan Tuhan., padahal tidak. Berliau
tetap mengerjakan amaliah sebagaimana biasa. Penafsiran yang mula-mula jauh
berbeda dengan kenyataannya. Abdul Hamid bukan jadi Tuhan dan tidak menyatakan
dirinya Tuhan. Cuma saking penuhnya kecintaan beliau terhadap Tuhan sampai
terlupa kepada yang lain. Hanya rasa cintanya inilah yang ke luar, tercetuslah
kalimat Allah. Tidak ada yang lain, yang ada hanya Allah semata. Ini karena
saking meluapnya kecintaan beliau.
Setiap subuh, itulah yang dikerjakan beliau
yaitu sembahyang. Bila lewat masa subuh dan semua kewajiban sudah dikerjakan,
kurungan besi itu kembali tenggelam. Tetapi apakah beliau itu mati lemas di dalam
air, tidak. Setengah riwat mengatakan air tersisih satu hasta dari kurungan.
Jadi sekeliling empat persegi dari kurungan itu, air menyibak sehingga sama
sekali tidak tersentuh air. Jadi istilah mati lemas tidak pula ada pada beliau.
Nah, itulah maunah dari isi ilmu yang sudah beliau pegang tauhid dan bersihnya
pegangan kejiwaan beliau.
Jadi setiap subuh begitulah yang terjadi.
Selesai menjalankan kewajiban, kemabali tenggelam. Nanti apabila tiba waktu
zuhur timbul lagi ke permukaan air da teggelam setelah waktunya habis. Waktu
Ashar timbul kembali dan demikian seterusnya.
Hari ke sehari demikianlah berjalan. Rupanya
ada dalam kawasan tersebut ada orang yang pekerjaannya mahaliung . Tetapi
pekerjaan itu berkawan-kawan, setiap kelompok terdiri dari tiga-empat orang di
sebelah kiri, dan sejumlah itu pula di sebelah kanan. Ketika rombongan itu
lewat di daedah tempat kurungan Abdul Hamid diteggelamkan, kebetulan dengan
saat timbulnya kurungan besi itu. Sayup-sayup terdengar di kejauhan seperti
suara azan. Apakah mereka iu juha sembahyang , tak tahulah kita. Mereka
berjumlah sepuluh orang lima sebelah kanan dan lima sebelah kiri, masing-masing
naik jukung. Mendengar suara azan lamat-lamat di kejauhan, masing-masing
memperkirakan apakah itu suara manusia atau suara apa. Setiap orang diantara
mereka saling bertanya. Kata seoarang, “cobalah kita mendekati supaya tahu
buktinya. Kalau kita dari jauh begini tidak bisa menentukan suara apa iitu,
apakah suara itu manusia ataukah suara makhluk lain. Untuk lebih terang, ada
baiknya kita mendekat. Kalau dia manusia bagaimana orangnya. Kalau dia bukan
manusia bagaimana pula.”
Pendeknya kesepuluh orang itu perlahan-lahan
mendekat dan pekerjaaan menjala ditinggalkan. Karena saking ingin tahunya, jala
di tangan terlepas tanpa sadar. O, nyata didengar suara tadi adalah suara
manusia. Diintip dari kejauhan kiranya orang itu sedang melaksanakan
sembahyang. Di antara meeka ada yang berkara.
“dia itu sembahyang, kita ini bagaimana.
Kamu Islam Atau bukan?”
“Islam”
“dan kamu?”
Juga Islam.”
“bagaimana ini. Kita menyatakan diri kita
Islam, tetapi pekerjaan kita begini. Malu kita jadinya.”
Kata yang lain, “cobalah kita lebih
mendekat, perhatikan diri kita islam, tetapi pekerjaan kita begini. Malu kita
jadinya.”
Kata yang lain,”cobalah kita lebih mendekat,
perhatikan bagaimana dia mengerjakan. Kalau perlu kita temui dan belajar
dengannya, jangan seperti ini. Kalau begini-begini saja apa jadinya, hanya
mengaku saja islam.”
Timbul hasrat semuanya untuk mendekat.
Ringkasnya, lalu kesepuluh orang itu berhasrat mengangkat Abdul Hamid sebagi
guru.
“wahai tuan guru, kami ingin berguru kepada
tuan. Anggaplah kami sebagai murid tuan, dan kami mengangkat tuan sebagai guru
kami. Apa yang ada pada tuan harap kami diberi pelajaran.” Kata beliau, “apakah
kalian benar-benar ingin belajar. Kalau tidak sungguh-sungguh ingin belajar,
saya tidak mau.”
“kami memang ingin benar-benar belajar.”
“kalau begitu baiklah.”
Sejak saat itu mereka mulai berguru, tentang
ilmu tasauf. Padahal yang dipelajari itu adalah persoalan tauhid, mempertebal
dan memperdalam keimanan dalam diri. Apakah yang diajari semata-mata ilmu
tauhid. Tidak. Ilmu tauhid berdampingan dengan hukum syara sebagai yang nampak
dalam pekerjaan beliau sendiri. Tetapi karena masa dahulu dalam lingkungan kerajaan
dipertinggikan keberanian lalu masing-masing mengambil cara kekuasaan.
Orang yang sepuluh ini lalu belajar dengan
tekun. Di samping membersihkan kejiwaan juga menyempurnakan hukum syara. Jadi
masing-masing menuntut ilmu sesuai cara sendiri-sendiri, sampai mencapai ilmu
apa yang dinamakan ilmu tasauf.
Secara teratur setiap subuh mereka belajar,
dan akhirnya tamatlah pelajaran yang dituntut. Apa yang terjadi setelah itu
terhadap diri Abdul Hamid, sampai di sini dulu persoalannya.
Kembali tercerita persoalan orang yang
mengaji, menuntut ilmu-ilmu pengetahuan. Orang-orang yang menuntut ilmu
tersebut banyaknya sepuluh orang, lalu dinamai orang sepuluh. Sampai sekarang
keturunan mereka dinamakan zuriat anak cucu orang sepuluh, yang namanya di
daerah Amuntai.
Turunannya banyak terdapat di sana, yang
termasuk orang-orang kaburiat, boleh dikatakan jaya dan gagah berani. Padahal
dalam masalah orang sepuluh, mereka bukan mengkaji ilmu kejayaan. Ilmu yang
dituntut ilmu murni. Tapi karena berkat ketabahan hati dalam lingkungannya
timbullah perasaan ini dengan sendirinya.
Menurut cerita, orang sepuluh ini bekerja
dalam lingkungan kerajaan. Oleh karena mereka jaya dan kebal dalam lingkungan
sebagai panglima kerajaan. Sampai-sampai ada yang memperkirakah bahwa ilmu yang
mereka kaji tempo hari adalah ilmu kekebalan. Padahal tidak. Yang mereka tuntut
sebenarnya ilmu untuk memperdalam rasa bertuhan. Tapi karena diantaranya salah
menafsirkan, lalu dikatakan mengakaji ilmu kekebalan. Itulah sejarah anak cucu
Orang Sepuluh yang sampai sekarang keturunannya ini termasuk orang-orang yang
pemberani. Tetapi apakah keberanian itu sesuai dengan keturunan asal, wallahu
a’lam. Itu menurut cerita.
Menurut kisah selanjutnya, terhadap Abdul
Hamid akhirnya terlaksana juga apa yang diniatkan oleh Sultan. Telah sampai
berita ke istana bahwa Abdul Hamid yang dibenamkan ke dalam sungai dahulu tidak
binasa, tetap saja hidup.
“kalau begitu segera di tangkap kembali,
bawa ke istana.”
Abdul Hamid kemudian dibawa ke kerajaan,
setibanya di hadapan Sultan Adam, Abdul Hamid berkata.
“wahai Sultan, paduka tidak akan dapat
menggunakan senjata apa pun di dunia ini untuk membunuhku, untuk menghabisi
riwayat Abdul Hamid tidak akan bisa terlaksana, tetapi kalau paduka
menginginkannya juag dan kemudian saya sampai juga waktunya yang saya sudah
diberitahukan Allah, ambil senjata saya sendiri. Saya ada mempunyai senjata,
letaknya di dinding rumah. Menggunakannya jangan ke luar dari lingkaran yang
saya buat ini.” Lalu Abdul Hamid membuat tanda di arah belikat.
“sesudah saya membubuhkan tanda, saya
permisi akan melaksanakan sembahyang lebih dahulu.”
Jadi kalau orang mengaji sesuatu ilmu,
bisakah melepaskan sembahyang. Tidak. Sembahyang secara biasa. Jadi sesuadah
beliau sembahyang, dilangsungkan amanat beliau.
Setelah selesai sembahyang, lantas ditusuk
dengan keris beliau sendiri. Apa yang kemudian terjadi. Pada saat itu keluarlah
darah dalam daerah badan beliau yang telah diberi tanda. Darah yang ke luar
tidak terpancar, tetapi mencucurkan seperti air ke luar dari pipa ledeng.
Pancuran darah yang ke luar ini lain dari biasa, tetapi merupakan suatu lambang
huruf yang berbunyi, “laa illaha illallah, muhammadar rasulullah.” Darah yang
gugur ke bumu berbentuk suatu lafal kalimat syahadat.
Selesai rangkaian huruf dua kalimat syahadat
itu, habislah darah beliau dan menghembuskan nafas yang terkhir. Itulah riwayat
yang terjadi pada diri Abdul Hamid di masa kerajaan Sultan Adam.
Ditulis pada tanggal/ jam :
Friday, January 14, 2011
االجمعة، 09 صفر، 1432
17:24:28
Maaf mau komentar sedikit
BalasHapusSyekh muhammad arsyad albanjari wafat 1812
Sultam adam jadi raja tahun 1825 -1857
Coba teliti syekh muhammad arsyad sudah wafat 13 tahun sebelum sultan adam jadi raja banjar
Jadi cerita ente ini ngarang aja....
Sedikit meluruskan, Syeikh Muhammad Arsyad dikirim belajar ke Makkah oleh Sultan Tahlilullah... pada saat beliau kembali setelah lbh 30 tahun belajar di Makkah, Kerajaan Banjar dibawah pimpinan Sultan Tamjidillah...
BalasHapus