Mari
kita mencoba dengan menggunakan ingatan yang ada untuk menceritakan Kitab
Barincung.
Banyak
orang yang mengira bahwa kitab barincung itu adalah sebuah kitab berbentuk segi
empat, dan dipotong seperti memotong ketupat. Ketupat kalau dipotong akan
menghasilakan dua rencongan. Banyak pula terberita bahwa siapa yang dapat
membaca kalimat yang terpotong tersebut akan sama halnya dengan mendapatkan
ilmu kesaktian, ilmu pengobatan, dan bermacam-macam ilmu lainnya. Jadi artinya
di dalam Kitab Barincung itu banyak terdapat ilmu pengetahuan, maka ia akan
jaya selama hidupnya. Oleh karena itu Kitab Barincung itu sampai sekarang masih
dicari-cari orang, dan bahkan tidak sedikit yang balampah[2] untuk
mendapatkannya.
Akan
tetapi kalau kita menengok ke jaman bahari, pada masa itu ilmu pengetahuan ada
yang tersurat tetapi sebagian besar ilmu-ilmu itu masih tersirat. Begitu juga
halnya dengan Kitab Barincung. Kitab Barincung itu sebenarnya adalah sesuatu
yang tersirat. Tidak merupakan benda yang dapat dilihat. Lalu bagaimanakan asal
mulanya Kitab Barincung yang mengandung ilmu pengetahuan itu?
Pada
suatu hari, yaitu Jum’at di kota Mekkah, Syeikh Haji Muhammad Arsyad al-Banjari
waktu itu berada disana. Sewaktu beliau berada di Masjid Mekkah untuk melaksanakan
sembahyang Jum’at berjamaah, terlihat oleh Haji Muhammad Arsyad seorang
sembahyang di dekatnya. Beliau tertarik hatinya untuk mengetahui siapa orang
itu. Orang tersebut mengenakan baju palimbangan hitam dan celana hitam serta
memakai laung[3].
Mirip pakaian orang Madura. Sedangkan baju palimbangan biasanya berwarna putih.
Haji Muhammad Arsyad al-Banjari berada di Mekkah dalam rangka belajar. Pada
saat itu ia bertemu muka dengan orang tersebut ia sudah beberapa tahun berada
di Mekkah.
Demi
melihat pakaian orang ini timbul perkiraan dari Haji Muhammad Arsyad bahwa
orang tersebut bukan orang Mekkah. Karena orang-orang Mekkah tidak ada yang
berpakaian demikian. Pakaian seperti itu hanya dipakai oleh orang Banjar atau
orang tanah Jawa. Sudah beberapa Jum’at orang tersebut bersembahyang di Mesjid
Mekkah dengan pakaian yang itu-itu juga. Haji Muhammad Arsyad al-Banjari selalu
memperhatikannya.
“Tidak
salah lagi, ini pasti orang Banjar,” ujar Haji Muhammad Arsyad dalam hati. Lalu
mengulurkan tangannya kepada orang itu. Kemudian mereka bersalaman. Oleh Haji
Muhammad Arsyad orang itu diajak ke rumahnya, ia pun mau diajak ke sana.
Sesampainya
di rumah, Syeikh Haji Muhammad Arsyad lalu bertanya dan dijawab orang tersebut
bahwa ia bernama Datu Sanggul. Kemudian Haji Muhammad Arsyad bertanya pula:
“saudara ini orang mana, asal negeri mana dan sudah berapa lama tinggal di
Mekkah.”
Datu
Sanggul menjawab pertanyaan itu dengan senyum. “saya setiap Jum’at datang ke
sini untuk bersembahyang, dan aku berasal dari Banjar. Tempat diamku di Banjar.
Jelasnya Tatakan,” ujarnya.
Jauh
juga. Kalau begitu melewati Martapura, Kayu Tangi. Melalui tempat tinggalku.
Itu sangat jauh. Jika demikian dengan apa ke mari setiap Jum’at?” ujar Haji
Muhammad Arsyad al-Banjari bertanya.
“aku
tidak memakai apa-apa. Hanya karena hendak ke mari saja, dan kebetulan Allah
Subhanahuwataala memberikan kekuatan kepadaku sehingga aku sampai ke sini,”
jawab Datu Sanggul.
Terpikir
dalam hati Haji Muhammad Arsyad al-Banjari tentang kedatangan Datu Sanggul itu,
apakah ia memang masih waras atau orang yang terganggu pikirannya. Jawaban Datu
Sanggul tadi rasanya tak masuk akal sehat. Sebab mungkinkah jarak yang demikian
jauhnya antara Tatakan dan Mekkah bisa dicapai hanya dalam waktu begitu
singkat, dan bahkan tidak memakai apa-apa, dari dialek bahanya sudah tidak
diragukan lagi kalau Datu Sanggul orang Banjar.
“O,
jadi ke sini dilakukan pulang pergi saja,” ujar Haji Muhammad Arsyad pula
setengah heran.
“ya,
aku pulang pergi saja,” kata Datu Sanggul menyahuti. “kalau betul engkau pulang
dari Tatakan ke sini, coba tolong hari Jum’at yang akan datang bawakan aku
oleh-oleh dari kampung. Aku sudah sangat lama tidak pulang. Mungkin sudah
mencapai waktu 30 tahun. Selama itu aku selalu berada di Mekkah tak pernah ke
mana-mana. Kiriman untuk ongkos pondokan di sini tetap saja datang, tapi aku
tidak pernah disuruh pulang. Biaya pualang tak pernah diberi, terpaksa aku
menetap saja di sini. Nah kira-kira musih buah apa di kampung kita? Bawakan ke
mari untukku, terutama di Martapura sekarang ini musim apa kiranya,” ujar Haji
Muhammad Arsyad.
Datu
Sanggul lalu berdiri di muka jedela. Tangannya dilambaikannya ke luar jendela.
Ketika ia menarik kembali tangnnya ada sebiji durian dan kuini.
“Nah,
Datu Kayu Tangi ambil durian dan kuini ini,” kata Datu Sanggul,” ini datang
dari Sungkai.”
Buah
diambil oleh Haji Muhammad Arsyad, diperiksa masih ada getahnya dari tangkai
kuini itu. Sama seperti baru dipetik dari samping rumah. Durian dan kuini
tersebut masak pula. Segera Syeikh Haji Muhammad Arsyad mengupas dan
memakannya. Memang betul durian dan kuini. Di Mekkah kedua buah tersebut tidak
ada. Kuini Jawa saja tidak terdapat, kecuali jenis asam-asaman lain.
“Wah!
Ini betul,” kata Haji Muhammad Arsyad.
“Nah,
aku akan segera pulang,” kata Datu Sanggul sambil berjalan dan ke luar dari
rumah. Syeikh Haji Muhammad Arsyad menjenguk keluar, tetapi Datu Sanggul sudah
tidak terlihat lagi, menghilang entah ke mana atau siapa yang membawanya, tidak
diketahui pasti. Padahal Datu Sanggul tidak mempunyai tikar permadani atau
kendaraan burak. Mungkin sudah sampai di Martapura atau Kayu Tangi atau sudah
sampai Sungkai.
Hari
Jum’at berikutnya Datu Sanggul datang pula. Oleh karena sering bertemu, maka
terjalinlah persahabatan antara keduanya. Sering Datu Sanggul dibawa ke tempat
kediaman Syeikh Muhammad Arsyad. Datu pun tidak pernah menolak. Hanya saja nama
yang sebenarnya dari Datu Sanggul itu tidak pernah diktehaui nama yang
sebenarnya dari Datu Sanggul itu tak pernah diketahui sampai sekarang. Jadi tak
dapat disebutkan nama yang sebenarnya. Yang memberi nama Datu Sanggul adalah
Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Sebab pernah di saat sedang duduk-duduk, Syeikh Muhammad Arsyad
bertanya kepada Datu Sanggul, “engkau setiap hari jum’at datang ke Mekkah, apa
gerangan atau bacaan yang engkau miliki,” tanya Syeikh Muhammad Arsyad
al-Banjari.
Sebagian
orang ada yang mengatakan bahwa Datu Sanggul mempunyai pantun-pantun yang
dianggap sebagai bacaan. Itu hanya dugaan. Sebenarnya Datu Sanggul tak bisa
berpantun.
“Amalanku,”
kata Datu Sanggul, “Hanya menjaga ke luar masuknya napas. Kapan ia masuk dan
kapan ia ke luar, itu yang kuamalkan.”
“Wah,
kalau begitu engkau ini penyanggul[4] namanya,” ujar
Syeikh Muhammad Arsyad. Bukan menghadang kerbau atau menjagangan seperti dugaan
orang, tapi yang dihadang adalah napas.
“Wah,
kalau itu, aku tidak mampu berbuat seperti engkau,” ujar Syeikh Muhammad
Arsyad. Jadi karena pekerjaannya menyanggul ke luar masuknya napas maka diberi
nama oleh Syeikh Muhammad Arsyad akan beliau itu Datu Sanggul.
Di
kampungnya Datu Sanggul diketahui oleh orang kampung tak pernah sembahyang
berjamaah di surau. Tak mau sama sekali ia pergi ke surau. Ini memang aneh. Ia
sering berkeliling di sawah-sawah, dihutan dan di sungai menangkap ikan. Kalau
ia memperoleh ikan, ikan akan diberikan kepada orang kampung. Tak pernah ia
memasak sendiri ikan-ikan tersebut. Maklumlah ia tak mempunyai anak istri.
Orang yang menerima ikan-ikan itu kemudian memasaknya, dan setelah masak Datu
Sanggul diberi lagi sebungkus nasi. Begitulah Datu Sanggul hidup. Lebih
istimewa dalam hal menangkap menjangan. Ia ahli dalam melacak bekas-bekas
telapak kaki menjangan. Ia tahu saat-saat menjangan minum, lalu kembalinya
dicegat. Sementara menunggu menjangan lewat beliau bersembunyi, terlebih dahulu
tempat yang diperkirakan akan dilaluinya tersebut dipasangi jerat. Kalau
menjangan lewat tali jerat ditarik. Menjangan pun terjerat. Kemudian orang
kampung dipanggilnya.
“Nah,
ini menjangan, silakan sembelih dagingnya supaya dibagi-bagi,” katanya jika
orang-orang kampung sudah datang. Setelah disembelih oleh orang kampung, maka
dagingnya dibagi-bagi. Datu Sanggul baru mendapatkan bagiannya manakala daging
menjangan sudah dimasak. Begitu juga dengan burung darakuku (tekukur) ia tahu
benar cara mengankapnya. Apalagi kalau burung-burung itu sedasng lapar sangat
mudah ditangkap oleh Datu Sanggul. Burung-burung itu diberinya umpan, sedang ia
berada di sekitar umpan itu dengan badan diselubungi rerumputan. Kalau burung
sudah mendekat ditangkapnya dengan tangan. Datu Sanggul tahu bahwa makanan
burung darakuku adalah padi. Kalau belum musim panen tentu sulit bagi burung
darakuu untuk mendapatkan padi yaitu makanan yang digemarinya itu. Justeru itu
kalau ada padi segera ditanganinya tanpa memikirkan bahaya. Hal demikian diketahui
oleh Datu Sanggul.
Apabila
musim kering di pengunungan, maka terjadilah segala lobang-lobang yang biasanya
berair kering. Maka burung akan pulang pergi menuju sungai. Ini juga diketahui
oleh Datu Sanggul. Pokoknya segala yang lmiah alam diketahuinya, dan dapat
melakukan prakteknya dengan baik. Apabila ia melihat pucuk alang-alang, maka
berliau melihat juga akarnya. Beliau dapat melihat seluruh keadaan alam dengan
mengetahui siapa yang membuatnya. Inilah ilmu tersirat yang dikuasai oleh Datu
Sanggul, yang langsung menjurus persoalannya kepada Tuhan. Dalam hal ini dapat
kita umpamakan bahwa Datu Sanggul ini langsung berurusan dengan langit. Cara
Tasauf yang dianutnya langsung ke langit, langsung ke hadirat Allah.
Mengenai
ilmu Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, kealiman berliau ini berdasarkan Kitab
al-Qur’an dan hadis-hadis yang menjelaskan al-Qur’an itu. Jadi artinya beliau
ini datang dari langit. Jelasnya dari langit turun ke bumi. Inilah yang
kemudian diajarkan oleh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Ke
dua ajaran ini kemudian menjadi persoalan bagi masyarakat karena keliru dalam
menafsirkannya. Datu Sanggul dari bumi naik ke langit, sedangkan ilmu Muhammad
Arsyad al-Banjari dari langit turun ke bumi. Ajaran atau ilmu Datu Sanggul
diibaratkan semakin meruncing ke atas karena munuju Tuhan Yang Esa. Sedangkan
ilmu Muhammad Arsyad melebar di atas kemudian meruncing di bawah menujur
manusia, mengingatkan manusia akan adanya Allah yang Mencipatakan alam dengan
semua isinya. Datu Sanggul tidak membawa kitab apapun. Hanya kekuatan bathinnya
yang menyebabkan ia tahu bahwa ialam ini pasti telah dijadikan, dan ia pun tahu
pula siapa yang telah menjadikannya.
Jadi
ada perbedaan antara ilmu Datu Sanggul dengan Muhammad Arsyad, walaupun
dasarnya sama yaitu ilmu ketuhanan. Datu Sanggul berpendapat bahwa alam yang
dilihat ini tidak mungkin jadi dengan sendirinya, tetapi ada yang
menjadikannya. Jesteru itu pasti ada Yang Maha Kuasa di atas alam semesta.
Itulah Allah Subhanahu wa ta’ala. Sesuai dengan apa ang dikatakan Tuhan di
dalam al-Qur’an, “ayat-ayatku penuh di langit dan di bumi”. Inilah yang
dipelajari oleh Datu Sanggul secara mendalam sampai ia mengerti benar tentang
seluk-beluk alam semesta sesuai dengan apa yang dikatakan Tuhan dalam al-Qur’an
tadi. Demikian itulah ilmu Datu Sangul tak memakai kitab apapun juga, dan hal
seperti ini disebut ilmu tersirat.
Ilmu
Muhammad Arsyad al-Banjari pada dasarnya ada yang disebut Syari’at, Hakitak,
Tarikat dan Ma’ripat. Walaupun pada mulanya ilmu Tarikat itu tidak dimasukkan.
Baru kemudian saja diajarkan oleh Muhammad Arsyad setelah beliau mengetahui
kepentingan ilmu tersebut bagi umat manusia. Agar murid-muridnya jangan
menemukan kesulitan dalam mengikuti pelajaran lalu dibuat oleh Muhammad Arsyad
sebuah al-Qur’an besar segi empat. Beliau melarang murid-muridnya mencari Kitab
barincung. Sebab apa sebenarnya Kitab barincung ini hanya dapat diketahui oleh
orang-orang yang ilmunya sudah tinggi. Kalau ilmu belum sampai sudah mencoba
untuk menfsirkan apa itu kitab barincung bisa membawa sesat. Jelas bahwa ilmu
Muhammad Arsyad datang dari Tuhan, dan beliau mempelajari apa yang tersurat
tidak seperti Datu Sanggul mempelajari sendri tentang keadaan benda-benda alam,
tentang rumput-rumput, kayu-kayuan dll.
Apa
yang dikatakan pucuk dan buah-buahan, ini semua menjadi penelitian Datu Sanggul
sampai kepada yang menciptakannya. Dan memang harus diakui Datu Sanggul dapat
melakukan semua itu.
Kitab
biasanya dikatakan orang juga wadah ilmu. Tetapi kitab barincung itu sebenarnya
tidak ada, hanya sebagai perlambang saja dari ilmu ke dua ulama tersebut di
atas. Sebab ilmu yang tersirat dari Datu Sanggul itu kalau ditulis barangkali
akan penuh sebuah gedung. Sebab penguraiannya sangat panjang, meliputi
benda-benda alami yang hampir-hampir tidak ada kesudahannya. Kalau al-Qur’an
sudah jelas terdiri 30 juz, tetapi ilmu tersiratnya Datu Sanggul tak ada yang
bisa disebut juz awal dan akhir. Untuk mengetahui segala yang tersirat itu
sampai sekarang tak ada sekolahannya, kecuali belajar dan tekun sendiri.
Terceritalah
Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari setelah sekian puluh tahun di Mekkah, ia
kembali ke tempat asalnya tanah Jawi Martapura. Sesudah sampai di Martapura,
timbul keinginannya untuk mencari sahabat yang telah lama tak bertemu, yakni
Datu Sanggul di Sungkai Tatakan. Untuk itu lalu Syeikh Muhammad Arsyad pergi ke
Tatakan. Sesampainya di sana di menanyakan letak rumah Datu Sanggul sahabatnya
itu. Cepat saja tempat tersebut diberitahukan orang. Di rumah Datu Sanggul ada
seorang perempuan yang tidak diketahui identitasnya, entah ada ikatan keluarga
entah tidak dengan Datu Sanggul, tak ada yang bisa memastikannya. Syeikh
Muhammad Arsyad lalu bertanya kepada perempuan itu.
“Mana
Datu Sanggul?” ujarnya bertanya.
“Dia
telah meninggal dunia,” jawab perempuan itu.
“mana?”
“Itu!
Badannya ditutup dengan kain”
“Wah,
dia telah menghadap Tuhan, tak sempat aku bicara lagi dengan dia”, kata
Muhammad Arsyad pula.
Di
tengah rumah memang benar terbujur jasad Datu Sanggul bertutup kain. Muhammad
Arsyad lalu membaca doa, mendoakan kepada Tuhan agar sahabatnya itu diterima di
sisi Allah. Selesai berdoa, ia pergi kerumah-rumah tetangga Datu Sanggul untuk
minta bantuan mengerjakan mayat tersebut.
“Wahai
saudara-saudara mengapa mayat Datu Sanggul tidak kalian kerjakan?” Tanyanya
kepada orang-orang kampung.
“Oh
jadi ia mati?”, ujar orang-orang kampung serentak. “biarkan saja. Karena semasa
hidupnya ia tak pernah kami lihat bersembahnyang. Jadi orang demikiran tak
perlu disembahyangkan, dan tak perlu mayatnya dimandikan”.
“Ah!
Jangan! Ia sahabatku”, ujar Muhammad Arsyad pula.
“Tidak,
biarkan saja begitu”.
“Jangan,
ia betul-betul sahabatku. Bantulah aku menyelesaikan mayatnya”, tambah Muhammad
Arsyad.
“Tapi
siapakah Bapak ini sebenarnya? Tanya orang-orang kampung. “Kami tidak pernah
melihat Bapat datang ke sini, tetapi malah mengaku bersahabat dengan dia itu”.
“Aku
Haji Muhammad Arsyad al-Banjari Kalampayan Martapura”, ujar Muhammad Arsyad
tenang.
Demi
mendengar nama besar itu orang-orang kampung jadi kaget, dan tak bisa berucap
untuk beberapa saat lamanya. Karena nama tersebut sudah mereka kenal, yaitu
seorang ulama besar berpuluh tahun mengaji di Mekkah.
“O,
jadi rupanya Bapakkah Muhammad Arsyad? Kalau demikian baiklah kami kerjakan apa
yang engkau ingini”, ujar orang-orang kampung yang kenal nama Muhammad Arsyad
tapi belum mengenal orangnnya.
Selanjutnya
mereka bersama naik ke rumah Datu Sanggul. Dibukalah kain penutup mayat,
ternyata mayat Datu Sanggul tak ada lagi, yang ada hanya sedikit air di tempat
tadinya terbaring jenazah Datu Sanggul. Orang-orang kampung heran, kecuali
Syeikh Muhammad Arsyad yang segera berkata, “Alhamdulillah, kita tak perlu lagi
memandikannya. Orangnya sudah pergi.”
Begitulah
Datu Sanggul itu sebenarnya tak punya kubur. Kubur yang dikunjungi orang-orang
di Tatakan itu hanya bekasnya saja. Kubur itu sering berpindah letaknya.
Waallahu ‘alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar