Jumat, 01 Juni 2012

Kitab Barincung


KITAB BARINCUNG[1]
Mari kita mencoba dengan menggunakan ingatan yang ada untuk menceritakan Kitab Barincung.
Banyak orang yang mengira bahwa kitab barincung itu adalah sebuah kitab berbentuk segi empat, dan dipotong seperti memotong ketupat. Ketupat kalau dipotong akan menghasilakan dua rencongan. Banyak pula terberita bahwa siapa yang dapat membaca kalimat yang terpotong tersebut akan sama halnya dengan mendapatkan ilmu kesaktian, ilmu pengobatan, dan bermacam-macam ilmu lainnya. Jadi artinya di dalam Kitab Barincung itu banyak terdapat ilmu pengetahuan, maka ia akan jaya selama hidupnya. Oleh karena itu Kitab Barincung itu sampai sekarang masih dicari-cari orang, dan bahkan tidak sedikit yang balampah[2] untuk mendapatkannya.

Akan tetapi kalau kita menengok ke jaman bahari, pada masa itu ilmu pengetahuan ada yang tersurat tetapi sebagian besar ilmu-ilmu itu masih tersirat. Begitu juga halnya dengan Kitab Barincung. Kitab Barincung itu sebenarnya adalah sesuatu yang tersirat. Tidak merupakan benda yang dapat dilihat. Lalu bagaimanakan asal mulanya Kitab Barincung yang mengandung ilmu pengetahuan itu?
Pada suatu hari, yaitu Jum’at di kota Mekkah, Syeikh Haji Muhammad Arsyad al-Banjari waktu itu berada disana. Sewaktu beliau berada di Masjid Mekkah untuk melaksanakan sembahyang Jum’at berjamaah, terlihat oleh Haji Muhammad Arsyad seorang sembahyang di dekatnya. Beliau tertarik hatinya untuk mengetahui siapa orang itu. Orang tersebut mengenakan baju palimbangan hitam dan celana hitam serta memakai laung[3]. Mirip pakaian orang Madura. Sedangkan baju palimbangan biasanya berwarna putih. Haji Muhammad Arsyad al-Banjari berada di Mekkah dalam rangka belajar. Pada saat itu ia bertemu muka dengan orang tersebut ia sudah beberapa tahun berada di Mekkah.
Demi melihat pakaian orang ini timbul perkiraan dari Haji Muhammad Arsyad bahwa orang tersebut bukan orang Mekkah. Karena orang-orang Mekkah tidak ada yang berpakaian demikian. Pakaian seperti itu hanya dipakai oleh orang Banjar atau orang tanah Jawa. Sudah beberapa Jum’at orang tersebut bersembahyang di Mesjid Mekkah dengan pakaian yang itu-itu juga. Haji Muhammad Arsyad al-Banjari selalu memperhatikannya.
“Tidak salah lagi, ini pasti orang Banjar,” ujar Haji Muhammad Arsyad dalam hati. Lalu mengulurkan tangannya kepada orang itu. Kemudian mereka bersalaman. Oleh Haji Muhammad Arsyad orang itu diajak ke rumahnya, ia pun mau diajak ke sana.
Sesampainya di rumah, Syeikh Haji Muhammad Arsyad lalu bertanya dan dijawab orang tersebut bahwa ia bernama Datu Sanggul. Kemudian Haji Muhammad Arsyad bertanya pula: “saudara ini orang mana, asal negeri mana dan sudah berapa lama tinggal di Mekkah.”
Datu Sanggul menjawab pertanyaan itu dengan senyum. “saya setiap Jum’at datang ke sini untuk bersembahyang, dan aku berasal dari Banjar. Tempat diamku di Banjar. Jelasnya Tatakan,” ujarnya.
Jauh juga. Kalau begitu melewati Martapura, Kayu Tangi. Melalui tempat tinggalku. Itu sangat jauh. Jika demikian dengan apa ke mari setiap Jum’at?” ujar Haji Muhammad Arsyad al-Banjari bertanya.
“aku tidak memakai apa-apa. Hanya karena hendak ke mari saja, dan kebetulan Allah Subhanahuwataala memberikan kekuatan kepadaku sehingga aku sampai ke sini,” jawab Datu Sanggul.
Terpikir dalam hati Haji Muhammad Arsyad al-Banjari tentang kedatangan Datu Sanggul itu, apakah ia memang masih waras atau orang yang terganggu pikirannya. Jawaban Datu Sanggul tadi rasanya tak masuk akal sehat. Sebab mungkinkah jarak yang demikian jauhnya antara Tatakan dan Mekkah bisa dicapai hanya dalam waktu begitu singkat, dan bahkan tidak memakai apa-apa, dari dialek bahanya sudah tidak diragukan lagi kalau Datu Sanggul orang Banjar.
“O, jadi ke sini dilakukan pulang pergi saja,” ujar Haji Muhammad Arsyad pula setengah heran.
“ya, aku pulang pergi saja,” kata Datu Sanggul menyahuti. “kalau betul engkau pulang dari Tatakan ke sini, coba tolong hari Jum’at yang akan datang bawakan aku oleh-oleh dari kampung. Aku sudah sangat lama tidak pulang. Mungkin sudah mencapai waktu 30 tahun. Selama itu aku selalu berada di Mekkah tak pernah ke mana-mana. Kiriman untuk ongkos pondokan di sini tetap saja datang, tapi aku tidak pernah disuruh pulang. Biaya pualang tak pernah diberi, terpaksa aku menetap saja di sini. Nah kira-kira musih buah apa di kampung kita? Bawakan ke mari untukku, terutama di Martapura sekarang ini musim apa kiranya,” ujar Haji Muhammad Arsyad.
Datu Sanggul lalu berdiri di muka jedela. Tangannya dilambaikannya ke luar jendela. Ketika ia menarik kembali tangnnya ada sebiji durian dan kuini.
“Nah, Datu Kayu Tangi ambil durian dan kuini ini,” kata Datu Sanggul,” ini datang dari Sungkai.”
Buah diambil oleh Haji Muhammad Arsyad, diperiksa masih ada getahnya dari tangkai kuini itu. Sama seperti baru dipetik dari samping rumah. Durian dan kuini tersebut masak pula. Segera Syeikh Haji Muhammad Arsyad mengupas dan memakannya. Memang betul durian dan kuini. Di Mekkah kedua buah tersebut tidak ada. Kuini Jawa saja tidak terdapat, kecuali jenis asam-asaman lain.
“Wah! Ini betul,” kata Haji Muhammad Arsyad.
“Nah, aku akan segera pulang,” kata Datu Sanggul sambil berjalan dan ke luar dari rumah. Syeikh Haji Muhammad Arsyad menjenguk keluar, tetapi Datu Sanggul sudah tidak terlihat lagi, menghilang entah ke mana atau siapa yang membawanya, tidak diketahui pasti. Padahal Datu Sanggul tidak mempunyai tikar permadani atau kendaraan burak. Mungkin sudah sampai di Martapura atau Kayu Tangi atau sudah sampai Sungkai.
Hari Jum’at berikutnya Datu Sanggul datang pula. Oleh karena sering bertemu, maka terjalinlah persahabatan antara keduanya. Sering Datu Sanggul dibawa ke tempat kediaman Syeikh Muhammad Arsyad. Datu pun tidak pernah menolak. Hanya saja nama yang sebenarnya dari Datu Sanggul itu tidak pernah diktehaui nama yang sebenarnya dari Datu Sanggul itu tak pernah diketahui sampai sekarang. Jadi tak dapat disebutkan nama yang sebenarnya. Yang memberi nama Datu Sanggul adalah Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Sebab pernah di saat  sedang duduk-duduk, Syeikh Muhammad Arsyad bertanya kepada Datu Sanggul, “engkau setiap hari jum’at datang ke Mekkah, apa gerangan atau bacaan yang engkau miliki,” tanya Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Sebagian orang ada yang mengatakan bahwa Datu Sanggul mempunyai pantun-pantun yang dianggap sebagai bacaan. Itu hanya dugaan. Sebenarnya Datu Sanggul tak bisa berpantun.
“Amalanku,” kata Datu Sanggul, “Hanya menjaga ke luar masuknya napas. Kapan ia masuk dan kapan ia ke luar, itu yang kuamalkan.”
“Wah, kalau begitu engkau ini penyanggul[4] namanya,” ujar Syeikh Muhammad Arsyad. Bukan menghadang kerbau atau menjagangan seperti dugaan orang, tapi yang dihadang adalah napas.
“Wah, kalau itu, aku tidak mampu berbuat seperti engkau,” ujar Syeikh Muhammad Arsyad. Jadi karena pekerjaannya menyanggul ke luar masuknya napas maka diberi nama oleh Syeikh Muhammad Arsyad akan beliau itu Datu Sanggul.
Di kampungnya Datu Sanggul diketahui oleh orang kampung tak pernah sembahyang berjamaah di surau. Tak mau sama sekali ia pergi ke surau. Ini memang aneh. Ia sering berkeliling di sawah-sawah, dihutan dan di sungai menangkap ikan. Kalau ia memperoleh ikan, ikan akan diberikan kepada orang kampung. Tak pernah ia memasak sendiri ikan-ikan tersebut. Maklumlah ia tak mempunyai anak istri. Orang yang menerima ikan-ikan itu kemudian memasaknya, dan setelah masak Datu Sanggul diberi lagi sebungkus nasi. Begitulah Datu Sanggul hidup. Lebih istimewa dalam hal menangkap menjangan. Ia ahli dalam melacak bekas-bekas telapak kaki menjangan. Ia tahu saat-saat menjangan minum, lalu kembalinya dicegat. Sementara menunggu menjangan lewat beliau bersembunyi, terlebih dahulu tempat yang diperkirakan akan dilaluinya tersebut dipasangi jerat. Kalau menjangan lewat tali jerat ditarik. Menjangan pun terjerat. Kemudian orang kampung dipanggilnya.
“Nah, ini menjangan, silakan sembelih dagingnya supaya dibagi-bagi,” katanya jika orang-orang kampung sudah datang. Setelah disembelih oleh orang kampung, maka dagingnya dibagi-bagi. Datu Sanggul baru mendapatkan bagiannya manakala daging menjangan sudah dimasak. Begitu juga dengan burung darakuku (tekukur) ia tahu benar cara mengankapnya. Apalagi kalau burung-burung itu sedasng lapar sangat mudah ditangkap oleh Datu Sanggul. Burung-burung itu diberinya umpan, sedang ia berada di sekitar umpan itu dengan badan diselubungi rerumputan. Kalau burung sudah mendekat ditangkapnya dengan tangan. Datu Sanggul tahu bahwa makanan burung darakuku adalah padi. Kalau belum musim panen tentu sulit bagi burung darakuu untuk mendapatkan padi yaitu makanan yang digemarinya itu. Justeru itu kalau ada padi segera ditanganinya tanpa memikirkan bahaya. Hal demikian diketahui oleh Datu Sanggul.
Apabila musim kering di pengunungan, maka terjadilah segala lobang-lobang yang biasanya berair kering. Maka burung akan pulang pergi menuju sungai. Ini juga diketahui oleh Datu Sanggul. Pokoknya segala yang lmiah alam diketahuinya, dan dapat melakukan prakteknya dengan baik. Apabila ia melihat pucuk alang-alang, maka berliau melihat juga akarnya. Beliau dapat melihat seluruh keadaan alam dengan mengetahui siapa yang membuatnya. Inilah ilmu tersirat yang dikuasai oleh Datu Sanggul, yang langsung menjurus persoalannya kepada Tuhan. Dalam hal ini dapat kita umpamakan bahwa Datu Sanggul ini langsung berurusan dengan langit. Cara Tasauf yang dianutnya langsung ke langit, langsung ke hadirat Allah.
Mengenai ilmu Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, kealiman berliau ini berdasarkan Kitab al-Qur’an dan hadis-hadis yang menjelaskan al-Qur’an itu. Jadi artinya beliau ini datang dari langit. Jelasnya dari langit turun ke bumi. Inilah yang kemudian diajarkan oleh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Ke dua ajaran ini kemudian menjadi persoalan bagi masyarakat karena keliru dalam menafsirkannya. Datu Sanggul dari bumi naik ke langit, sedangkan ilmu Muhammad Arsyad al-Banjari dari langit turun ke bumi. Ajaran atau ilmu Datu Sanggul diibaratkan semakin meruncing ke atas karena munuju Tuhan Yang Esa. Sedangkan ilmu Muhammad Arsyad melebar di atas kemudian meruncing di bawah menujur manusia, mengingatkan manusia akan adanya Allah yang Mencipatakan alam dengan semua isinya. Datu Sanggul tidak membawa kitab apapun. Hanya kekuatan bathinnya yang menyebabkan ia tahu bahwa ialam ini pasti telah dijadikan, dan ia pun tahu pula siapa yang telah menjadikannya.
Jadi ada perbedaan antara ilmu Datu Sanggul dengan Muhammad Arsyad, walaupun dasarnya sama yaitu ilmu ketuhanan. Datu Sanggul berpendapat bahwa alam yang dilihat ini tidak mungkin jadi dengan sendirinya, tetapi ada yang menjadikannya. Jesteru itu pasti ada Yang Maha Kuasa di atas alam semesta. Itulah Allah Subhanahu wa ta’ala. Sesuai dengan apa ang dikatakan Tuhan di dalam al-Qur’an, “ayat-ayatku penuh di langit dan di bumi”. Inilah yang dipelajari oleh Datu Sanggul secara mendalam sampai ia mengerti benar tentang seluk-beluk alam semesta sesuai dengan apa yang dikatakan Tuhan dalam al-Qur’an tadi. Demikian itulah ilmu Datu Sangul tak memakai kitab apapun juga, dan hal seperti ini disebut ilmu tersirat.
Ilmu Muhammad Arsyad al-Banjari pada dasarnya ada yang disebut Syari’at, Hakitak, Tarikat dan Ma’ripat. Walaupun pada mulanya ilmu Tarikat itu tidak dimasukkan. Baru kemudian saja diajarkan oleh Muhammad Arsyad setelah beliau mengetahui kepentingan ilmu tersebut bagi umat manusia. Agar murid-muridnya jangan menemukan kesulitan dalam mengikuti pelajaran lalu dibuat oleh Muhammad Arsyad sebuah al-Qur’an besar segi empat. Beliau melarang murid-muridnya mencari Kitab barincung. Sebab apa sebenarnya Kitab barincung ini hanya dapat diketahui oleh orang-orang yang ilmunya sudah tinggi. Kalau ilmu belum sampai sudah mencoba untuk menfsirkan apa itu kitab barincung bisa membawa sesat. Jelas bahwa ilmu Muhammad Arsyad datang dari Tuhan, dan beliau mempelajari apa yang tersurat tidak seperti Datu Sanggul mempelajari sendri tentang keadaan benda-benda alam, tentang rumput-rumput, kayu-kayuan dll.
Apa yang dikatakan pucuk dan buah-buahan, ini semua menjadi penelitian Datu Sanggul sampai kepada yang menciptakannya. Dan memang harus diakui Datu Sanggul dapat melakukan semua itu.
Kitab biasanya dikatakan orang juga wadah ilmu. Tetapi kitab barincung itu sebenarnya tidak ada, hanya sebagai perlambang saja dari ilmu ke dua ulama tersebut di atas. Sebab ilmu yang tersirat dari Datu Sanggul itu kalau ditulis barangkali akan penuh sebuah gedung. Sebab penguraiannya sangat panjang, meliputi benda-benda alami yang hampir-hampir tidak ada kesudahannya. Kalau al-Qur’an sudah jelas terdiri 30 juz, tetapi ilmu tersiratnya Datu Sanggul tak ada yang bisa disebut juz awal dan akhir. Untuk mengetahui segala yang tersirat itu sampai sekarang tak ada sekolahannya, kecuali belajar dan tekun sendiri.
Terceritalah Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari setelah sekian puluh tahun di Mekkah, ia kembali ke tempat asalnya tanah Jawi Martapura. Sesudah sampai di Martapura, timbul keinginannya untuk mencari sahabat yang telah lama tak bertemu, yakni Datu Sanggul di Sungkai Tatakan. Untuk itu lalu Syeikh Muhammad Arsyad pergi ke Tatakan. Sesampainya di sana di menanyakan letak rumah Datu Sanggul sahabatnya itu. Cepat saja tempat tersebut diberitahukan orang. Di rumah Datu Sanggul ada seorang perempuan yang tidak diketahui identitasnya, entah ada ikatan keluarga entah tidak dengan Datu Sanggul, tak ada yang bisa memastikannya. Syeikh Muhammad Arsyad lalu bertanya kepada perempuan itu.
“Mana Datu Sanggul?” ujarnya bertanya.
“Dia telah meninggal dunia,” jawab perempuan itu.
“mana?”
“Itu! Badannya ditutup dengan kain”
“Wah, dia telah menghadap Tuhan, tak sempat aku bicara lagi dengan dia”, kata Muhammad Arsyad pula.
Di tengah rumah memang benar terbujur jasad Datu Sanggul bertutup kain. Muhammad Arsyad lalu membaca doa, mendoakan kepada Tuhan agar sahabatnya itu diterima di sisi Allah. Selesai berdoa, ia pergi kerumah-rumah tetangga Datu Sanggul untuk minta bantuan mengerjakan mayat tersebut.
“Wahai saudara-saudara mengapa mayat Datu Sanggul tidak kalian kerjakan?” Tanyanya kepada orang-orang kampung.
“Oh jadi ia mati?”, ujar orang-orang kampung serentak. “biarkan saja. Karena semasa hidupnya ia tak pernah kami lihat bersembahnyang. Jadi orang demikiran tak perlu disembahyangkan, dan tak perlu mayatnya dimandikan”.
“Ah! Jangan! Ia sahabatku”, ujar Muhammad Arsyad pula.
“Tidak, biarkan saja begitu”.
“Jangan, ia betul-betul sahabatku. Bantulah aku menyelesaikan mayatnya”, tambah Muhammad Arsyad.
“Tapi siapakah Bapak ini sebenarnya? Tanya orang-orang kampung. “Kami tidak pernah melihat Bapat datang ke sini, tetapi malah mengaku bersahabat dengan dia itu”.
“Aku Haji Muhammad Arsyad al-Banjari Kalampayan Martapura”, ujar Muhammad Arsyad tenang.
Demi mendengar nama besar itu orang-orang kampung jadi kaget, dan tak bisa berucap untuk beberapa saat lamanya. Karena nama tersebut sudah mereka kenal, yaitu seorang ulama besar berpuluh tahun mengaji di Mekkah.
“O, jadi rupanya Bapakkah Muhammad Arsyad? Kalau demikian baiklah kami kerjakan apa yang engkau ingini”, ujar orang-orang kampung yang kenal nama Muhammad Arsyad tapi belum mengenal orangnnya.
Selanjutnya mereka bersama naik ke rumah Datu Sanggul. Dibukalah kain penutup mayat, ternyata mayat Datu Sanggul tak ada lagi, yang ada hanya sedikit air di tempat tadinya terbaring jenazah Datu Sanggul. Orang-orang kampung heran, kecuali Syeikh Muhammad Arsyad yang segera berkata, “Alhamdulillah, kita tak perlu lagi memandikannya. Orangnya sudah pergi.”
Begitulah Datu Sanggul itu sebenarnya tak punya kubur. Kubur yang dikunjungi orang-orang di Tatakan itu hanya bekasnya saja. Kubur itu sering berpindah letaknya. Waallahu ‘alam


[1] Kitab barincung  (bahasa banjar)
[2] Balampah=  bertapa
[3] Laung= ikat kepala semacam blangkon
[4] Penyanggul dari kata sanggul artinya hadang, penyanggul= penghadang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar